Minggu ke-28 :)

Horeee!
Alhamdulillah Puji Tuhan hari ini usia kandungan masuk 28 minggu dan resmi menjadi warga grup 3rd trimester di aplikasi BabyBump.
Jujur setelah melewati banyak “drama” di kehamilan sebelumnya yang berujung keguguran dan di kehamilan sekarang yang diawali dengan flek dan bed rest sampai minggu ke 14, pencapaian masuk trimester ketiga ini terasa bahagia sekali. InsyaAllah 10 minggu lagi bisa bertemu langsung dengan si kesayangan yang selama ini baru bisa dirasakan lewat tendangan dan tarian dari dalam perut 🙂

Kejadian lucu (menurut kami) ketika belanja “syarat” masuk 7 bulan, yaitu membeli pakaian untuk Utun (panggilan kami untuk si jabang bayi). Agar kapanpun ia lahir, sudah tersedia pakaian untuk ia kenakan.
Kami pikir belanja kali ini akan as easy as ABC lah ya, secara apa sih susahnya belanja buat bayi? Pilihan baju untuk newborn ya paling standar dan tinggal pilih. Ternyata sampai ke toko baju dan perlengkapan bayi, kami kebingungan. Selain display yang tidak berurutan mengikuti usia dan kebutuhan (atau memang kami tidak terbiasa), walaupun standar ternyata tetap saja kami kebingungan. Bekal daftar barang yang harus dibeli yang saya captured dari internet ternyata hanya membantu sedikit. Ditambah, saya ini tidak terlalu suka belanja baju dari dulu. Untungnya suami saya masih lebih senang belanja baju dibanding saya. Mulailah ia mencari dengan lebih telaten, bertanya kepada mbak pramuniaga dan memadupadankan dengan baik.

Karena belanja kali ini adalah merupakan syarat, kami membeli hanya dua atau tiga buah per barang. Kaos singlet, atasan lengan pendek dan panjang, celana pop, celana panjang, sarung tangan dan kaki, juga bedong dan selimut topi. Bukannya pelit, kami berdua sudah diwanti-wanti oleh dua adik ipar kami yang sama-sama baru melahirkan tahun lalu. Jangan kebanyakan beli karena banyak barang lungsuran yang masih bagus-bagus, bahkan ada yang tidak sempat dipakai. Sebaiknya dipilih dulu dari barang lungsuran, baru kembali belanja apa sekiranya yang masih kurang.

IMG_5500

Baju love NY itu dari MamaJonah, yang lain bapaknya Utun yang beli, emaknya ga ikutan milih, nanti ada conflict of interest sama klien 😀

Hari ini merupakan milestone untuk kami. Sama-sama baru kali ini belanja baju bayi. Dan sedikit-sedikit suami saya tertawa geli sendiri. Kegirangan.

Bang Bang Tut!

Halo! Saya kembali!

Sudah setahun ya sejak terakhir menulis di blog ini. Lagi ingin banget cerita mumpung masih hangat ada di kepala saya.

Kejadiannya dua atau tiga hari yang lalu.

Malam itu suami saya tiba-tiba membahas tentang satu hal di luar topik yang sedang kami bicarakan gara-gara sedikit-sedikit saya bersendawa.

Dia bilang, kalau di brosur atau iklan, di majalah dan media lainnya, yang dijual itu masa kehamilan ada masa yang indah dan penuh keajaiban. Bukan berarti dia tidak setuju dengan pernyataan itu. Malah setujunya dobel-dobel. Hanya saja sedikit yang secara gamblang mengutarakan hal-hala lain yang lebih dalam daripada ibu hamil terlihat makin glowing, mual dan muntah-muntah atau ngidam.

Saya setuju.

Banyak fakta yang baru saya dapatkan ketika saya menjalaninya sendiri. Mual-mual itu biasa lah ya. Ngidam, malah saya tidak terlalu. Glowing? Tergantung lipstick yang saya pakai ;p.

Yang cukup mengagetkan (dan menggelikan) adalah kenyataan atas ketidakmampuan saya untuk meredam buang angin atas bawah alias sendawa dan kentut saat hamil ini. Seorang saya yang cukup baik dalam menjunjung etika dan kesopanan, selama hamil mulai masuk bulan ketiga, menyerah dalam hal itu. Suami saya tidak keberatan, malah (ngakunya) dia lega saya jadi bisa kentut ketika dia dekat karena tadinya saya anti kentut di dekatnya. Yang lebih parah, ketika saya mencoba untuk mengontrol hal itu, yang ada malah makin menjadi. Pernah saya mencoba untuk meredam bunyinya dengan tertawa, yang ada bunyi buang angin dari bawah mengikuti ritme tertawa saya dan menghasilkan gabungan bunyi-bunyian yang luar biasa untuk ditertawakan. Untungnya itu terjadi di rumah, di dalam kamar, hanya ada kami berdua. Apa kabar kalau itu terjadi di kantor, di tempat umum atau sedang bersama orang lain, apa daya saya? Awalnya memang sulit menerima kenyataan itu, lama-lama saya bisa menerima dan jadi lebih pandai dalam menyikapinya.

Okei, cukup tentang buang angin.

Hal lainnya yang membuat saya kaget dan berharap tahu hal ini sebelumnya adalah heartburn. Kondisi asam lambung yang naik sampai rongga dada bahkan terasa sampai tenggorokan karena banyak hal. Bisa karena hormon, karena dipicu makanan yang saya makan, karena kondisi psikis, letak dan besar janin dan lainnya. Belum lagi kata dokter, ini juga dipengaruhi keadaan fisik sebelum hamil. Kalau punya penyakit maag sebelumnya, biasanya peluang merasakan heartburn lebih besar dan lebih awal dari yang tidak punya penyakit maag sebelumnya. Memang hal ini tidak dirasakan oleh semua karena pada dasarnya setiap kehamilan itu berbeda, tidak bisa disamaratakan. Tapi tetap saja, kalau saya tahu info ini dari dulu, memperbaiki kondisi lambung sudah pasti jadi prioritas karena heartburn itu rasanya TIDAK ENAK SAMA SEKALI! Menderita! Apalagi biasanya heartburn datang di malam hari menjelang waktu istirahat. Boro-boro bisa tidur, tiduran saja langsung naik asam lambungnya dan menimbulkan sensasi panas, nyelekit dan perih mulai dari tengah perut, naik ke rongga dada sampai setengah tenggorokan. Tentunya konsumsi obat maag tidak bisa seenaknya dilakukan. Harus dengan obat yang dianjurkan dokter, bahkan sebenarnya kalau bisa tidak minum obat apapun. Ada banyak makanan atau minuman yang dianjurkan untuk membantu meredakan heartburn kalau saya baca dari buku tentang kehamilan atau hasil mencari di internet. Susu hangat, apple cider vinegar, mmm apalagi ya, ya pokoknya ada. Sayangnya ketika saya mencoba apa kata mereka, hasilnya malah semakin membuat heartburn melanda. Sekali lagi memang harus diingat, setiap kehamilan itu berbeda. Yang manjur buat dia bukan berarti mujarab buat saya.

Niatnya memang saya ingin aktif menulis lagi bercerita tentang keseruan kehamilan ini. Hitung-hitung sebagai dokumentasi supaya paling tidak saya ingat dan syukur-syukur bisa jadi bahan bacaan berguna untuk teman-teman. Semoga saya makin pintar bagi waktu seperti pagi ini. Mumpung day off dari kantor dan suami masih tidur karena semalam begadang nonton film.

Oiya, selamat ulang tahun suami saya yang baik hati, suka aneh tapi menyenangkan dan menggemaskan dan selalu bisa membuat saya bahagia dan tenang. Terima kasih untuk terlalu banyak hal yang entah kalau bukan sama kamu, mungkin saya tidak merasakannya. Saya sayang kamu sungguh-sungguh! Muach, Simhala!

Keduluan!

Ini gara-gara obrolan seru di Sabtu sore kala siaran. Dari satu cerita bersambung ke cerita lain dengan tema life improvement.
Pelakunya adalah kang Endar, Eki, Rio yang salah lihat jadwal siaran (harusnya jam 8 malam) dan saya.
Singkatnya, kami masing-masing berbagi pengalaman tentang mewujudkan cita-cita, atau paling tidak menyampaikan gumpalan-gumpalan ide yang kerap menyesakkan kepala.

Lalu saya memutuskan untuk mengeluarkan penyesalan yang selama ini saya belum (berani) ceritakan.

Saya memulainya dengan bilang ke mereka, “Ide gak ada yang kecil. Semua ide itu besar! Tapi kitanya yang suka meragukan, akhirnya hilang idenya. Lebih parahnya, ada orang lain yang punya ide sama, tapi dia gak males dan mau usaha ngewujudinnya.”

Lalu meluncurlah rangkaian kata-kata dari mulut saya berupa cerita kenapa saya sampai sekarang masih tidak mau punya BARANG yang lagi heiits itu.

Begini ceritanya.

Tiga tahun yang lalu saat saya sedang aktif-aktifnya mengantar rombongan anak sekolah untuk mengikuti English Course ke luar negeri, saya suka merasa kesulitan untuk mengabadikan momen dalam bentuk foto yang di dalamnya ada sayanya juga. Paling banter ya saya melakukan selfie. Itupun hasilnya jarang yang sesuai ekspektasi. Yang paling sering adalah mukanya kegedean, background ciamik yang sebenarnya adalah focus of interest malah tidak terlihat. Mau minta tolong orang, saya suka sungkan.
Lalu terbersit ide, gimana kalo saya memodifikasi sebuah alat yang bisa membantu perpanjangan tangan saya yang tidak terlalu jenjang ini agar proporsi wajah dan background bisa sesuai ekspektasi tanpa harus merepotkan orang lain?
Saya sempat mengutarakan hal ini kepada sahabat-sahabat saya di sebuah warung kopi sambil bercanda. Kenapa bercanda? Tentu saja karena saya meremehkan (baca: meragukan) ide tersebut.
Perjalanan demi perjalanan saya lalui masih dengan hasil foto yang seperti ini.

Mau pamer salju malah kayak ketombean :|

Mau pamer salju malah kayak ketombean 😐

Ya gitu deh ;p

Ya gitu deh ;p

Polisi kece ketutupan rambut :(

Polisi kece ketutupan rambut 😦

Muka semuanya. Padahal pengen pamer apa yang ada di belakang saya (terutama si polisi Inggris yang gemesin banget mukanya tapi malah ketutupan rambut).

Sampai akhirnya di pertengahan tahun ini ada sebuah alat yang jadi bahan pembicaraan, diminati dan dicari banyak orang! Bahkan orang rela menunggu sekian waktu, memberi bayaran di depan, demi mendapatkan barangnya.

Iya, TONGSIS! Tongkat narsis! Sebuah alat yang sudah ada di pikiran saya sejak tiga tahun lalu, yang akhirnya diwujudkan oleh seseorang yang memiliki ide sama dengan saya tapi LEBIH BERANI dalam mewujudkannya.

Kesal? Sempat sih. Sekarang sudah tidak. Saya cukup berbesar hati menertawakan ketidak-beranian saya. Yang sekarang masih tersisa adalah “What If…” dan “Coba Aja Dulu Gue…” Oh satu lagi, “Tau Gitu Kan…”

Hhh… Sambil menulis ini barusan saya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cukup keras, sebagai simbol membuang kebiasaan meremehkan ide sendiri.

Ok, saya siap punya tongsis sekarang!

Memilih Penjajah

DISCLAIMER: Dalam tulisan ini tidak ada satu niat dan maksud untuk menghina, menurunkan martabat atau ingin menimbulkan kesan-kesan tidak baik lainnya kepada semua pihak.

Memilih penjajah? Nampak bukan pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan. Siapa yang mau dijajah? Dijajah perasaan sendiri saja membuat diri kita (dan orang di sekeliling) menderita. Apalagi dijajah hal di luar diri kita?

Tadi di kantor saya mengangkat pembicaraan tentang sejarah perjuangan bangsa ini. Terus terang saya tidak terlalu menguasai, maka itu saya mencari tahu. Mendekati hari Pahlawan, pilihan saya adalah mencari tahu lebih jauh tentang sejarah hari Pahlawan. Dari situ muncul keingintahuan yang lebih besar lagi. Naskah pidato Bung Tomo yang menjadi cikal bakal diperingatinya tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Saya baru tahu bahwa saat itu, Bung Tomo yang masih berusia 25 tahun, mengobarkan semangat juang untuk melawan tentara Inggris.

IYA, SAYA BARU TAHU TADI SORE.

Inggris, bukan Belanda, bukan juga Jepang.
Saya baru tahu (tepatnya baru ngeh – karena jaman sekolah lebih memilih menghafal teks lagu New Kids On The Block daripada membaca buku pelajaran sejarah) bahwa tentara Inggris pernah berusaha untuk ikutan menguasai Indonesia.

Lalu saya “mengganggu” beberapa teman dengan memberitahukan hal itu. Merekapun (nampaknya) juga baru tahu. Terhentilah kegiatan bekerja kami (sebentar ;p) dan mulai meliarkan imajinasi.

Dari satu suara mengatakan, “Wah, Inggris ya? Kalo kita dijajah Inggris, kemungkinan kena macet pasti kecil. Karena dari dulu udah dibuatin MRT.”
Suara yang lain menyahut, “Dan kita ga usah panik lagi kalau disuruh presentasi bahasa Inggris, pasti fluent bingit!”
Yang lain ikut menimpali, “Gue udah tau kalo ada mesin waktu gue mau balik ke masa apa. Mau ke Surabaya tanggal 9 November 45 dan bilang ke Bung Tomo tentang keadaan sekarang yang kacau-balau dan kasih perbandingan sama jajahan Inggris lainnya yang lebih tertata.”

Singkatnya, melihat – membandingkan – merasakan; antara mereka yang pernah (dan mungkin masih) dijajah Inggris, sebersit dua bersit berandai-andai, apa jadinya kalau negara ini juga pernah merasakan hal itu. Apakah akan setertata mereka? Apakah akan semaju mereka? Dan apakah-apakah lainnya. Entahlah.
Pastinya memang tergantung dari siapa yang menjalani. Mau dijajah negara super asik dan baik, yang seratus persen membangun negara jajahannya biar ciamik, kalau yang dijajah mentalnya tetap ngaco, jadinya ya berantakan juga.

Sekarang pilihannya ada di kita yang sedang menjalankannya. Sudah merdeka loh, 68 tahun! Mau bagaimana? Dibiarkan berantakan atau (mulai) berbenah supaya tidak makin parah?

Yaaah, paling tidak, kalau belum bisa jadi pahlawan, ya jangan jadi penjajah — apalagi jadi penjarah!