Mbah Denok

Habis magrib, saya menemani seorang teman yang terkilir kakinya untuk pijat di kost-annya. Niat sebenarnya adalah bertemu dengan Mbah Denok, perempuan usia 60an, yang sudah puluhan tahun menjadi tukang urut bagi orang-orang yang dipilihnya.
Beliau tidak sembarang mengiyakan permintaan orang untuk memijitnya. Bagi pelanggannya, Mbah Denok disebut paranormal. Karena kerap muncul keberadaannya di saat orang membutuhkan kehebatan memijitnya, padahal belum dihubungi.
Bahkan sering kali, pelanggannya suka lupa dengan keberadaan Mbah Denok, sampai muncul sms darinya yang isinya hanya, “Ada yang butuh pijet?” Delapan dari sepuluh cerita, memang mereka butuh dipijat karena terkilir, salah urat atau sedang tidak enak badan. Sisa dua kasus lainnya ada yang sudah ke tukang urut lain atau berada di tempat yang sulit dijangkau Mbah Denok.

Iya. Saya penasaran. Karena setengah jam setelah teman saya terpeleset, saat kami sedang heboh mencarikan param kocok untuknya, sms dari Mbah Denok masuk ke kotak pesan teman saya itu.

“Mbak, mau mbah pijet malam ini?”

Hujan cukup lebat saat itu. Teman saya memutuskan untuk tidak hanya dipijat kakinya, tapi seluruh badan. Aroma minyak pijat Mbah Denok seperti mint dicampur lavender, aneh, tapi saya ketagihan menghirupnya, memenuhi ruangan kamar tidur bercat cokelat pucat.

Kata temanku, Mbah Denok tidak suka banyak bicara. Biasanya suara sayup-sayup dari televisi yang mengisi rongga udara. Tapi kala itu Mbah Denok cukup banyak bicara. Tentang cuaca, warna dan tabiat manusia. Saya tidak terlalu mendengarkan. Daya magis Path yang belum saya utak-atik isi timeline-nya sejak pagi menyita perhatian. Mumpung wifi di kost teman saya itu cukup bagus koneksinya. Sampai beliau, tanpa bridging apa-apa berkata,

“Orang yang suka berkata jujur itu baik.
Orang yang suka berkata jujur dan pandai memilah mana yang baik dikatakan mana yang tidak pantas diucapkan, itu lebih baik.
Sebaik-baiknya manfaat mulut, lidah dan suara adalah apa yang dihasilkan atau apa manfaatnya setelah terdengar orang lain.”

Telinga saya seperti disetrum, kejut-kejut kecil tapi terasa hebat sampai ke belakang jantung.

Saya membalas pernyataan Mbah Denok dengan berkata, “Berat ya, Mbah. Apalagi buat orang yang suka sebar aib orang dengan mengatasnamakan kejujuran biar dikata keren.”

Tanpa mengubah ekspresi maupun pandangan mata, beliau hanya tersenyum. Saya menunggu apa lagi yang akan diucapkannya.
Sampai selesai memijat, ia tidak bersuara. Hanya kata terima kasih setelah teman saya memberikan “uang transport” untuknya.

Seperginya Mbah Denok, saya bilang ke teman saya, “Dia ngebaca gue ya?”
Teman saya hanya berkata, “GR lo, dia itu emang kalo ngomong sesukanya aja.”

Patutlah saya ke-gr-an, karena saya merasa seperti salah satunya.